Minggu, Mei 23, 2010

DEMOKRASI DI WARUNG KOPI




Menurut saya tempat yang paling “demo” yang melebihi aroma suasana demokrasi ya di warung kopi. Dimanapun dibelahan dunia ini pasti ada yang namanya warung kopi, walaupun beda namanya. Dari warung kopi pinggir pantura, angkringan atau hek dalam bahasanya orang yogya-klaten-solo, kedai kopi bagi orang melayu hingga coffe shop ataupun coffe bean bagi mereka para konglomerat tempat berkongkow ataupun lobying dalam bisnis mereka.
Diwarung kopi inilah demokrasi yang sebenar-benarnya terwujud. Demokrasi tanpa konspirasi busuk, demokrasi tanpa koalisi dagang sapi dan demokrasi tanpa oposisi yang saling membunuh pendapat satu sama lain. Bahkan gedung yang sekarang ini miring 70 di senayan itupun kalah dengan demokrasinya warung kopi. Disini para wong cilik bebas berpendapat, mengemukakan statmentnya tanpa di intimidasi oleh siapapun bahkan oleh partai yang berkuasa. Bahkan mereka bebas mengkritik kebijaksanaan penguasa kabupaten, penguasa provinsi dan penguasa negeri ini. Menjelek-jelekan bahkan menggoblok-nggobloki pemimpinnya pun tak dilarang bahkan sesuatu yang wajar sebagai pelampiasan ketidak adilan negeri ini terhadap wong cilik. Tak ada aturan protokoler dalam mengemukakan pendapat. Tak ada intimidasi, tak ada konspirasi dan murni dari sebuah kegundahan hati yang telah mencapai tititk kulminasi yang harus segera diungkapkan. Hanya satu yang harus dipegang yaitu saling menghormati saja dan aturan yang dijunjung tinggi adalah kalau bisa jangan ngutang setelah menghabiskan secangkir kopi.
Disini tak ada moderator, disisni tak ada narasumber utama, disini tak ada pakar, disini tak ada panelis, disini tak ada pimpinan dan anggota, disinipun tak ada penulis notulen. Semua merasa menjadi moderator, menjadi panelis, menjadi narasumber, menjadi pimpinan dan anggota dan semua merasa menjadi pakar. Tema yang dibicarakan pun mungkin melebihi agenda rapat anggota dewan yang ngakunya terhormat. Sekali ngopi bisa masalah ideology, politik, ekonomi, social, budaya, agama bahkan issue mancanegara yang mereka bicarakan. Dan kadang-kadang kalau kita mau jujur justru pendapat kaum marginal ini yang benar-benar murni dan tepat sasaran. Disini juga etika mengemukakan pendapat dan berbicara saya kira lebih beradap dari orang-orang yang duduk di senayan dengan seragam safarinya. Coba lihat deh… betapa buruknya kelakuan seorang anggota dewan yang ngakunya dosen sekaligus pakar IT yang berteriak-teriak ga jelas maksudnya dikala rapat paripurna. Dan masih kita ingat juga anggota dewan yang ngakunya mengerti ilmu hukum yang telah malang-melintang menjadi lawyer akan tetapi mengumpat sejadi-jadinya dikala sidang. Kita pun tak jarang melihat anggota dewan yang ngakunya terhormat justru tertidur atau sengaja tidur dikala membahas penderitaan rakyat. Dan diluar itu sudah jadi rahasia umum kalau dibelakang mereka main perempuan bahkan pernah tersebar video mesum anggota dewan dengan penyanyi dangdut yang saat ini berani-beraninya nyalonin jadi cawabub di jawa timur. Dan satu lagi yang perlu diakui bahwa anggota dewan yang ngakunya terhormat ini telah memberi contoh yang tidak baik kepada rakyat negeri ini dengan adu jotos diruang sidang. Bahkan disiarkan live oleh stasiun televisi swasta.
Akan tetapi sangat beda jika suasana diwarung kopi. Mengumpat sebuah hal yang biasa bagi mereka, karena memang yang nongkrong di warkop adalah dari semua kalangan. Dari kere’ hingga yang kere munggah bale’. Akan tetapi mereka ini saling menghormati pendapat satu sama lain. Prinsip mereka berbeda boleh suatu hal yang biasa asal jangan ngisruh. Bahkan ketika saya kongkow di warung kopi bawah fly over janti orang yang ikut nongkrong disitu justru berbahasa jawa alus dengan saya. Malah jadi ga enak sendiri, padahal saya sendiri justru sering menggunakan bahasa nasional dalam sehari-hari. Bahkan saya bisa menyimpulkan cara meloby anggota dewan dengan lawan politiknya di coffe shop atau coffe bean hotel telah mengadopsi kebiasaan orang-orang marginal yang sering nongkrong dan ngobrol di warung kopi. Memang warung kopi adalah zona netral. Disana segala kalangan berkumpul dengan melepaskan segala atribut jabatan yang melekat dalam kehidupan sosia di masyarakat. Dan diwarung kopilah mereka dianggap sebagai manusia yang merdeka.

Ngobrol di warung kopi
Sentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil

Ngobrol di parkir timur
Dari pada lo nganggur
Sekedar ingin usul
Bukannya sok ngatur


By boimprasetyo

Tidak ada komentar: