Minggu, Mei 02, 2010

APA KABAR PETANI INDONESIA



Apa kabarmu petani indonesia…!
Telah lama nian tak terdengar kabarmu di media elektronik negri ini. Semua berita yang berbau politik, konspirasi busuk, scandal hingga korupsi cukup menutup keadaamu yang kian lama kian mengenaskan. Banyak sudah ladang produktif yang tumbuh menjadi perumahan rakyat hingga perumahan konglomerat. Proyek mega mall hingga shopping square yang mengalihkan fungsi sawah-ladang. Kemanakah proyek yang dahulu pernah dibanggakan penguasa Orba dengan judul “pemanfaatan seribu lahan gambut”. Terakhir ku dengar kabarmu tahun 2008 ketika incambent penguasa negeri ini mendengung-dengungkan keberhasilan swasembada pangan sebagai modal menjual retorikanya agar beliau terpilih kembali. Aku tak tau ini sebuah fakta atau hanya sebuah konspirasi atau bahkan mendekati sebuah pembohongan publik belaka..!
Yang jelas nasib petani Indonesia bahagia dalam kemiskinan sebuah fakta adanya..!

Yang ku tau kian hari nasib temen-temanku ini kian mendekati sekarat.
Heran…..seribu heran…! Katanya negeri ini punya pabrik pupuk lebih dari 5 unit tetapi kenapa dikala petani kita sedang membutuhkan, pupuk-pupuk itu lenyap seperti ditelan bumi.
Lalu dibawa kemana hasil produksi pupuk itu apakah diexspor semuanya atau ditimbun semuanya…?
Ketika saya bertanya pada kakak saya yang saat ini masih bekerja di pabrik pembuatan pupuk, katanya tiap hari memproduksi. Bahkan jika sehari saja mesin rusak tidak bisa memproduksi pupuk, katanya kerugiannya jika ditotal bisa buat beli mobil Nissan X-Trail yang baru…!Tapi kenapa saat ini pupuk begitu menjadi barang yang sangat langka untuk dijumpai…?
Huh… pabrik pupuk yang aneh..!
Tapi aku salut dengan kawan-kawan petani indonesia. Ketika pupuk sulit dicari maka mereka tak patah semangat. Dengan menggunakan pupuk kandang maka bertani tetap berjalan. Bahkan beberapa kelompok tani di Desa Srihardono, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah bisa menciptakan obat hama organik yang terbuat dari bahan umbi-umbian yang diambil airnya melalui proses pressing.

Seharusnya pemerintah kita memberikan perhatian yang lebih untuk petani kita. Dahulu negeri ini dikenal sebagai negara agraris dengan 75% dari penduduknya bertani, hingga ketika Orba kita sanggup melakukan swasembada pangan bahkan sebagai negara percontohan dalam bertani padi di Asia Tenggara. Tidak hanya itu PBB pun mengakuinya dengan mengundang penguasa Orba untuk sudi membual retorika di sidang dewan keamanan PBB yang hadiahnya mendapat penghargaan dari FAO.
Akan tetapi kini keadaannya sungguh berbeda..! kenyataannya terbalik..! negeri ini justru mengimpor beras dari Thailand, India, Vietnam untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Dan tidak hanya beras saja bahkan gula, kedelai, bawang putih kita pun impor dari sana begitu juga dengan buah-buah yang ada di meja makan anda.
Ya….betul karena lahan produktif kini tumbuh menjadi perumahan, mall, apartement, jalan tol, ruko dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan “BESAR”, kenapa harus lahan produktif yang dijadikan korbanya. Bukankah tanah rawa masih luas, bukankah lahan tandus masih banyak, dan bukankah tanah lapang masih terhampar lebar.
Tanyakan saja pada batang padi yang bergoyang…!

Coba lihatlah buah pencuci mulut yang ada di meja makan anda? Apakah itu buah yang tumbuh dari bumi nusantara ini? Saya ras tidak..! padahal petani indonesia dapat menghasilkan buah- buahan tropis terbagus dan termanis, tapi kenapa buah yang terpajang di meja makan kita berstempel shanghai dan washington.? Lalu kemanakah duku palembang, jeruk pontianak, mangga harum sari, apel malang, durian parung, semangka kulon progo, rambutan aceh dan teman-temannya..?

Sebenarnya kita perlu sekali angkat topi untuk para petani indonesia. Walaupun harga pupuk naik dan langka pula, harga gabah turun yang jelas-jelas merugikan petani tapi spirit survival mereka tidak padam. Mereka tetap saja menggarap sawah dengan penuh suka cita walaupun persentase hasil panen setiap tahunnya menurun. Dan ini terjadi tidak hanya kepada petani padi saja namun semua petani baik itu petani buah, sayuran, tembakau, cengkeh, bawang merah, dan sebagainya. Dikala panen raya yang seharusnya merupakan waktu-waktu yang menguntungkan bagi petani kita untuk meraup hasil yang sebanyak-banyaknya, akan tetapi karena sebuah kebijakan yang tak populer dan menguntungkan beberapa golongan akhirnya terjadi penurunan harga jual produk petani. Belum lagi faktor cuaca yang sering tak menguntungkan bagi mereka.
Tapi lihatlah, apakah mereka kapok menjadi petani..?
Jawabanya, tidak sama sekali. Show must go on man…! Petani indonesia merupakan the fighter farmer. Mereka petarung-petarung handal yang semestinya dberi perhatian lebih dan bukannya dicuekin.
Mari kita lihat lagi betapa para petani indonesia merasa hidup bahagia dalam kungkungan sebuah kemiskinan. Dari hasil surfei HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dari 5 petani indonesia yang tiga adalah petani gurem. Petani gurem adalah petani yang hanya mempunyai sedikit sekali sawah / ladang bahkan hanya menjadi petani penggarap atau petani buruh. Akan tetapi semangat mereka untuk bercocok tanam memenuhi kebutuhan pangan negeri ini tidak perlu kita ragukan lagi.
Entah sebuah panggilan hidup atau tuntutan perut..?
Dan rata-rata satu petani kita hanya mempunyai lahan 0.3 Ha saja untuk digarapnya, sedangkan 49 % penduduk indonesia adalah petani.

Seharusnya pemerintah memberikan perlindungan yang lebih terhadap hasil pertanian kita dengan membatasi komoditi impor yang masuk ke Indonesia. Bagaimana produk pertanian kita akan membumi jika produk impor pertanian bangsa lain begitu bebasnya masuk ke market indonesia apalagi dengan harga yang sangat murah. Negara china yang begitu besar jumlah penduduknya hampir 1 milyar lebih hanya membuka 2 pelabuhan impor, begitu juga dengan Amerika negara adidaya ini hanya membuka 3 pelabuhan impor. Akan tetapi indonesia justru membuka 70 unit pelabuhan impor itupun dengan control yang sangat kecil, dan riskan sekali dengan penyelundupan produk yang tak berkualitas. Jadi wajarlah jika produksi petani indonesia seolah tak bisa bersaing dinegeri sendiri karena juga korban dari sebuah sistim dan kebijakan yang tak populer pula. Hal ini diperparah lagi dengan live style orang kita yang sok westernisasi. Kita justru merasa bangga bila mana bisa mengkonsumsi makanan dari luar negeri. Padahal belum tentu juga buah atau daging yang diimpor itu sehat. Sering kita lihat dinas bea cukai menyita daging atau ikan impor yang sudah tak layak lagi dikonsumsi atau yang telah mengandung penyakit. Seperti buah merek shanghai atau washington. Kita tau buah itu sudah diproses sterilisasi dan pengawetan pula dengan X ray agar tidak terjadi pembusukan dalam proses pengiriman. Sedangkan dalam proses pengiriman itu sendiri buah-buah tersebut tersimpan dalam fresher dan memakan waktu sampai berbulan-bulan terapung-apung ditengah laut. Jadi ketika kita konsumsi pastilah kadar vitamin dan nutrisinya sudah berkurang bahkan bisa jadi sudah hilang. Sudah saatnya kita beralih ke produk lokal yang tak kalah bagus dengan produk impor.

Sekali lagi saya berani bertaruh bahwa petani kita mampu memenuhi kebutuhan pangan bangsa ini jika pemerintah juga mau memberikan perhatian dan proteksi lebih kepada petani dan produk pangan Indonesia. Kembalikan lagi lahan-lahan produktif yang telah menjadi bangunan dan perketat lagi ijin mendirikan perumahan atau bangunan dengan mengalih fungsikan lahan yang masih produktif.
Pesan saya terakhir, “makanlah apa yang ditanam petani indonesia. Itu juga kalau dibagi, kalau enggak ya… beli dong…..!”


By boim prasetyo

Tidak ada komentar: