Minggu, Agustus 09, 2009

MENCARI KERJA VS BELI PEKERJAAN (S T O P K O L U S I)


MENCARI KERJA VS BELI PEKERJAAN
(S T O P K O L U S I)


Sudah jadi rahasia umum pada masa saat ini untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah sulit sekali. Mungkin bisa dibilang untuk sekarang bukan lagi mencari pekerjaan akan tetapi “beli pekerjaan”. Meskipun anda mempunyai benyak relasi ataupun colega yang bekerja di perusahaan ecek-ecek sampai bonafide, bila ga ada fulus ya ga lancar prosesnya. Dari nominal ratusan ribu, jutaan, hingga puluhan juta yang penting bisa dapat kerja akan diiyakan bagi mereka yang betul-betul ingin sekali mendapat sebuah pekerjaan walaupun hanya kontrak beberapa tahun. Hal semacam ini akan lebih exstrem lagi bila anda pernah mengikuti test penerimaan PNS. Hal ini saya dapati baru-baru saja, ketika teman saya menelpon ke ponsel saya untuk meminjam sejumlah uang yang keperluannya untuk memperlancar proses dalam mendapatkan pekerjaan bagi adiknya. Teman saya ini membutuhkan sejumlah uang sebesar 1,7 juta rupiah untuk diberikan kepada pihak penyalur pekerjaan agar adiknya dapat bekerja pada keesokan harinya. Padahal jelas-jelas hanya kontrak 6 bulan, disebuah pabrik biscuit di kawasan industri Jababeka, cikarang-jawa barat. Uang sejumlah 1,7 juta itu diberikan kepada oknum sebuah yayasan yang bekerja sama dengan perusahaan pencari pekerja. Bila kita lihat fenomena-fenomena hal semacam ini miris rasanya hati saya. Memang semacam ini sudah menjadi rahasia umum dan kita tak perlu kaget dengan hal semacam ini. Akan tetapi marilah kita renungkan dengan hati nurani kita masing-masing.
@ Bila kita tetap melakukan kolusi dengan memberikan uang pelicin kepada oknum-oknum tersebut rasanya skill dan talenta kita tidak dihargai dan hanya dihargai dengan sejumlah uang yang kita berikan kepada para oknum tersebut. Padahal bila kita mau tengok kembali sewaktu kita berjuang menuntut ilmu di bangku sekolah tidak hanya uang yang kita keluarkan akan tetapi kitapun berani berkorban waktu bahkan perasaan hanya demi selembar ijazah. Lalu setelah kita lulus dengan mudahnya kita menggadaikan ijazah yang telah susah-payah kita dapat dengan membayar sejumlah uang kepada oknum tanpa mau berkompetisi dengan sehat. Secara tidak langsung pula justru kita tidak menghargai potensi yang kita miliki.
Bila kita saja tidak mau menghargai potensi kita, apalagi orang lain?
@ awal yang buruk akan menghasilkan output yang buruk pula. Bila kita awalnya berbohong maka selanjutnya kita akan berbohong pula untuk menutupi kebohongan yang telah kita lakukan sebelumnya dan seterusnya akan seperti itu. Begitu halnya dengan perbuatan kolusi yang kita lakukan. Bila pertama kali kita mencari kerja dengan bergantung pada bantuan relasi(nepotisme) dan memberikan sejumlah uang kepada oknum tertentu (kolusi) maka selanjutnya bila kita ingin mencari mencari kerja juga akan melakukan hal semacam itu pula. Bagaikan sebuah candu yang telah disuntikkan ke dalam tubuh kita, maka kita akan merasa malas untuk ikut berkompetisi secara sehat, selalu ingin menggunakan jalan pintas dengan cara membarikan uang pelicin kepada oknum tertentu untuk melancarkan proses perekrutan. Sebenarnya hal semacam ini telah mendarah-daging di lingkungan kita, mungkin sejak zaman penjajahan bahkan bisa jadi sebelum para kompeni-kompeni datang. Tidak hanya dalam hal mencari pekerjaan bahkan telah merambah ke berbagai bidang pelayanan public dan birokrasi yang ujung-ujungnya harus ada duit bila keperluan anda ingin lancar. Ini merupakan penyakit masyarakat yang perlu kita perangi. Penyakit semacam ini tidak bisa dihilangkan akan tetapi hanya bisa diminimalkan, karena perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan kejahatan di dunia yang hanya akan hilang bila dunia ini telah kiamat.
Bukankah dalam setiap agama diperintahkan untuk menjauhi sesuatu yang haram dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak melakukan kejahatan. Saya rasa dengan kita memberikan sejumlah uang kepada oknum tertentu untuk proses kelancaran dalan hal mencari kerja, sedangkan hal semacam itu tidak ada dalam aturan perekrutan karyawan yang telah ditetapkan perusahaan yang bersangkutan. Maka perbuatan yang telah kita lakukan merupakan sebuah perbuatan kejahatan.
Kenapa bisa dikatakan perbuatan kejahatan?
1. kita telah melanggar aturan yang telah ditetapkan perusahaan yang akan merekrut karyawan. Karena saya meyakini semua perusahaan yang akan mengadakan recruitment karyawan telah menetapkan tidak diperbolehkan melakukan tindakan suap (kolusi).
2. kita secara tidak langsung justru membuat sebuah perbuatan (tradisi) yang tidak baik. Bila hal ini terus berlangsung dan dilestarikan maka orang pertama yang membuat ide ini adalah orang yang paling berdosa.
3. kita berdosa karena telah memberikan uang haram kepada oknum yang menerimanya. Coba renungkan bila oknum tersebut menggunakan uang haram itu untuk menafkahi anak-istrinya maka anak dan istrinya pun ikut berdosa pula karena telah memakan uang yang tak jelas hukumnya alias haram.
4. bagi diri kita sendiri, mari sejenak kita renungkan kembali dengan hati nurani yang bersih. Bila kita mencari kerja denga cara memberikan uang pelicin (kolusi) agar proses perekrutan diperlancar/dimudahkan, dan ternyata kita diterima. Maka upah/gaji kita tiap bulan bukankah uang haram pula. mengapa? Karena kita mendapatkan pekerjaan itu dengan cara yang tidak jujur/dengan kolusi.
5. kita telah menzolimi hak orang lain. Lho kok bisa?
Sadarkah bahwa dengan kita memberikan uang pelicin (menyuap) yang sebenarnya kita tidak layak untuk jadi pekerja diperusahaan tersebut mungkin karena ketrampilan yang kita miliki tidak termasuk dalam standart kualifikasi, kita telah mengambil hak orang lain yang dianya sebenarnya layak dan memenuhi syarat kualifikasi untuk bekerja diperusahaan yang mengadakan recruitment tersebut. Dengan melakukan kolusi kita telah mengambil hak orang lain yang sah. Bukankah perbuatan seperti ini bisa dikatakan menzolimi orang lain.
Sudah seharusnyalah kita sebagai paradigma baru untuk merubah tradisi ini bukan malah ikut melanjutkan bahkan menjadi oknumnya. Harga diri bangsa ini akan dipandang rendah bila kita masih menggunakan cara curang dan tidak jujur bila dalam setiap menyelesaikan masalah selalu uang yang bicara. Mulailah dari 3M seperti yang yang diutarakan Aa’ gym,
Mulai dari sekarang kita berusaha untuk tidak melakukan kecurangan sekecil apapun dan percaya diri untuk berani mengikuti kompetisi dengan sikap sportif.
Mulai dari hal yang kecil untuk memberikan contoh ketauladanan untuk bersikap jujur dn merasa bangga bila bisa melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dan mulailah dari diri kita sendiri, jangan menunggu orang lain untuk menjadi yang pertama. Lalu terapkan pula dari lingkungan terdekat yaitu keluarga anda sendiri. Ingatlah bahwa satu suri tauladan lebih baik dari seribu nasehat. Percuma bila kita teriak-teriak sampe suara serak “brantas KKN” tapi kita sendiri tidak pernah memberikan contoh yang baik walaupun hanya kecil.
Mungkin anda akan beranggapan bahwa hari gini susahlah bisa mendapatkan sebuah pekerjaan dengan jalan yang benar-benar murni tanpa ada katebelece apapun. Kadang ada orang yang nyeletuk, “sepintar apapun kalau lo ga punya relasi jangan mimpi bisa bekerja di tempat itu”. Bahkan ada orang yang sudah underestimate duluan, “ walaupun ada dengan jalan yang benar-benar murni paling juga seribu satu coy”.
Bolehlah mereka berkata seperti itu atau yang lebih exstrem lagi yang dapat menghipnotis dan menggoyahkan prinsip hidup kita, tapi perlu diingat bahwa manusia hanya bisa berusaha dan merencanakan sedangkan keputusan adalah mutlak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Sebisa apapun kita dalam berusaha untuk curang menggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring, bahkan menusuk dari belakang tapi bila Tuhan tidak mengizinkan maka musnahlah semua usaha culas itu. Percayalah pada kekuatan diri kita sendiri bahwa bila kita sudah berusaha semampu mungkin sesuai dengan kemampuan kita maka Tuhan akan memberikan reward sesuai dengan tetesan keringat yang telah kita keluarkan.
Mintalah sesuatu yang BESAR kepada Tuhan, karena DIA maha kaya. Mengapa kita minta yang kecil?

By boim prasetyo

Tidak ada komentar: