Senin, April 19, 2010

Supermarket alam




Pasca kepulangan saya dari batavia ibukota negara ini yang konon katanya lebih kejam dari ibu tiri, ternyata keadaan @ my village ga jauh berubah juga. Mungkin hanya dalam sektor bangunan fisiknya aja yang tampak berbeda. Jika dulu jalan dusun kecil dan becek bahkan ga ada ojek sekarang terlihat lebar dan telah di aspal meskipun tetap aja gaada ojek. Apalagi dalam hal fisik pemukiman. Pasca gempa 2006 justru terlihat pemukiman masyarakat tambah baik dengan bermunculnya rumah-rumah bergaya minimalis yang tahan gempa dan musnahnya rumah jaman dulu yang berbentuk limasan atau joglo dengan dapurnya yang bisa untuk bermain gobaksodor. Akan tetapi dalam hal perekonomian peningkatannya tidak terlalu exstrem. Jika dari titik nol di tarik garis lurus ke atas dari sumbu X menuju sumbu Y tidak terjadi kenaikan yang signifikan dengan hasil sebuah kurfa yang berbentuk gunung kecil, sangat kecil.
Fakta yang ada seperti pak anu yang 10 tahun yang lalu bekerja jadi buruh tani sekarang tetap jadi buruh tani dengan tak punya sepetak sawahpun walaupun hanya selebar tikar pandan. Seperti kang Paimo yang dulu hanya jadi kuli bangunan tetap jadi kuli bangunan hanya naik pangkat yang tadinya tukang aduk semen sekarang sudah jadi tukang batu. Simbok-simbok tua yang tiap pagi mengangkat kayu bakar untuk di jual ke pasar dengan jarak hampir 5 KM itupun harus naik gunung turun gunung menelusuru punggung lembah hingga sekarang tetap ditekuninya. Kakek tua yang dulu setiap sore aku liat mengangkat arang kayu sebagor penuh saat ini pun masih tetap mengerjakan hal yang sama. Lalu ada apa dengan dusun ku ini kenapa perubahan ekonomi sangat lambat.
Akan tetapi dibalik semua itu ternyata ada pelajaran yang sangat berharga yang aku rasakan. Seperti si parjo teman kecilku dulu. Dia tidak tamat SMP bukan karena ekonomi keluarga yang tak mampu tapi karena pas-pasan. Hanya pas untuk makan sehari saja.
Kini dia telah berkeluarga dangan anak satu. Jangan kau tanya pekerjaannya apa kawan. Serabutan…!
Ya, itulah pekerjaannya.
Tetapi menurutku si parjo adalah orang yang multi talent.
Kenapa tidak…demi mencukupi kebutuhan keluargannya dia bisa melakukan pekerjaan apa saja yang penting halal dari tukang batu sampai mbabat padi. Bahkan ketika kami bercakap-cakap, saat ini Parjo jika tidak ada orang yang memerlukan tenaganya dia mencari belalang untuk di jual. Bayangkan belalang sebotol penuh air mineral yang berukuran 500 ml hanya dijual 15 ribu rupiah itupun sudah dibeteti.
Udah mbayanginya… ok next…!
Ketika aku tanya kalau musim belalang sudah selesai lalu kau akan kerja apalagi jo..?
Maka dengan enteng dia menjawab, “Gusti Alloh selalu membuat musim yang berbeda dalam setiap tahunnya pras. kalau musim belalang habis sebentar lagi musim panen pastinya tenagaku dibutuhkan untuk membabat padi atau menanam padi. Kadang upahnya dikasih uang atau diberi gabah.”
“Pokoknya aku ga khawatir, alam ini memberikan rejeki padaku. Aku bisa cari telur nyangkrang (kroto) di bukit belakang rumah atau di kebonnya orang dan bisa dijual. Terus aku juga bisa cari buruan binatang seperti ayam hutan, landak bahkan bulan kemaren ada orang yang pesen sama aku kepengin makan daging landak dan itu merupakan rejeki dari Alloh SWT dan alam ini menyediakannya.
Bagiku alam ini adalah supermarket.
Alam menyediakan semua apa yang kita butuhkan asal mau mencari dan mengolah dan jangan sekali-keli merusaknya..!”
Deeggg…..! ternyata apa yang dikatakan parjo 1000% benar. Sungguh aku tak mengira parjo yang hanya tamat SD saja punya pemikiran seperti itu. Bahkan banyak temanku yang sarjana bahkan sudah master hanya mementingkan perutnya saja tanpa mempedulikan oranglain apalagi alam sekitar. Kalau perlu dilakukan exploitasi besar-besaran demi keuntungan perusahaan tanpa memikirkan anak cucu.

Beda parjo beda lagi dengan mbah Karyo. Dia yang ketika aku sekolah dulu menjual arang kayu saat ini pun masih menjual arang kayu. Ketika aku tanya kenapa mbah karyo dari dulu buat arang kayu dan menjualnya ga mau mencoba usaha lain? Maka dia pun menjawab sambil menghembuskan asap cigarete cap sex.
“Aku iki wong ga iso moco tulis isoku yo cuma buat arang terus tak dol.” (aku ini orang yang tidak bisa baca-tulis. Bisa ku hanya buat arang terus aku jual)
“yang penting ora ngrugekke’ tanggane. Kayu yang aku buat arang kayu seko kebonku dewe ga nyolong seko kebone tonggone.” (yang penting tidak merugikan tetangga. Kayu yang aku buat arang kayu dari kebunku sendiri bukan dari mencuri dari kebon tetangga.)
Terus kalau kayu kebon simbah karyo habis lalu anak-cucu disisain apa mbah..?
”Ndhisik jaman aku cilik bapakku sing nandur wit-witan sing ono kebon. Bareng aku udah gede sing nggunakke aku. Lha saiki aku juga nandur dienggo anak-putuku mbesok supoyone kayu ning kebonku ora entek.” (dulu waktu aku kecil bapakku yang menanam kayu-kayu yang ada di kebon. Sekarang aku udah gede yang menggunakan aku sendiri. Terus sekarang aku juga menanam untuk anak-cucuku besok agar kayu yang di kebon tidak habis.
Seorang mbah karyo yang sudah tua renta saja punya prinsip yang penting ora ngrugekke tanggane. (yang penting tidak merugikan tetangga.) sebuah kata-kata yang mudah diucapkan akan tetapi sangat sulit untuk diterapkan dalam hidup bermasyarakat. Kadang kita merasa terganggu jika tetangga sedikit-sedikit sering minta pertolongan tetapi kita juga sering ga nyadar diri klo udah kelewatan ngerepotin tetangga juga.
Apa yang dilakukan mbah Karyo ini pun diaminin oleh bokap saya. Ketika bokap membuat rumah kayu yang digunakan adalah hasil dari tanaman engkong ane yang udah wassalam. Dan kini bokap tinggal membayar hutang dengan menanam kembali pohon-pohon yang kelak dihadiahkan untuk saya dan saya pun juga harus melakukan apa yang dilakukan mbah karyo dan bokap demi anak-cucu. Sekali lagi alam telah memberikan banyak untuk kita. Dia (alam) supermarket yang menyediakan berbagai macam kebutuhan tanpa bandrol harga. Hanya dengan merawat dan tidak merusaknya maka dia (alam) pun juga tak akan murka.
Kalau Parjo dengan cara food gethering-nya mbah Karyo dengan membayar hutang anak cucu beda lagi dengan mas Slamet. Dia lebih memilih mengambil apa yang diberikan alam melalui aliran sungai. Kerjaannya mencari ikan dengan cara menjaring, memancing bahkan menggunakan strum. Ketika kami becakap-cakap di angkringan lor ndeso saya sempat menanyakan, “lho kalau cari ikannya dengan di strum kan ga boleh mas.? Lagi pula ikan yang kecil-kecil ikut mati terus nanti habis dong ikan yang ada di sungai gawe.” (sungai gawe nama sebuah sungai)
“Mas Pras, klo ikannya habis sudah dari dulu saya berhenti mencari ikan. Ikan akan ada terus entah datangnya dari mana pokoke’ percaya bae karo Gusti Alloh.”
“Kalau pemerintah melarang cari ikan dengan strum kenapa cuma yang masalah sepele yang di pikirkan pemerintah. Mbokyao koruptor kae yang di hukum strum biar mati ga hanya dipenjara cuma sebentar. Klo dipenjara Cuma sebentar tapi isih sugih aku juga mau mas Pras..!”
Huufffff… DILEMAAA…!
Ternyata jawaban mas Slamet ga terduga. Sekejap aku terdiam ga bisa menjawabnya. Memang benar alangkah naifnya negeri ini kalau hanya ngurusin orang yang nyetrum ikan di kali dilarang, sedangkan koruptor uang pajak pada berkeliaran bahkan sempat bertamu ke istana dengan red carpet lagi.
Tapi nyetrum ikan kan merusak lingkungan juga dan itu ada undang-undangnya lho…!
Sekali lagi alam memberikan kebutuhan yang kita perlukan. Ketika usaha penggemukan lele saya beranjak besar maka kendala pakan lele sangat terasa. satu sak pelet lele tidak cukup 1 minggu. Lagi-lagi alam ini memberikan kemurahannya. Saat ini banyak sawah yang sedang di tanami padi dengan air melimpah dan tak luput dari hama yang bernama keong. Alam telah memberikan isyaratnya. Keong adalah solusinya. Maka sayapun setiap 2 hari sekali mencari sebanyak mungkin hama ini untuk saya berikan ke ikan lele saya sebagai makan tambahan sekaligus makan pengganti pelet yang mahalnya ga ketulungan. Cara saya ini pun di ikuti oleh teman saya si Tole yang juga sama-sama usaha dalam penggemukan ikan lele. Klo saya berfokus pada hama padi kalau si Tole mencari kepik di bibir sungai Opak. Kepik ini juga tujuannya sama untuk makanan tambahan dan pengganti pelet.
Sungguh jika kita pikirkan lagi alam ini terlalu baik untuk kelangsungan hidup ini. Justru kita sendiri yang kurang ajar dengan alam ini. Ibarat pepatah air susu dibalas air tuba itulah kita manusia. Maunya mengambil kalau perlu merampas dan mengexsploitasi sebanyak mungkin demi kepentingan sendiri. Ekosistim flora dan fauna dirusaknya. Berapa hektar hutan di kalimantan dan sumatera yang ditebang hingga orang utan kehilangan rumahnya. Tidak hanya itu saja, setelah mereka (orang utan) kehilangan rimbanya mereka pun di bunuh, dijual bahkan diterlantarkan hingga kelak menjadi binatang langka. Apakah kita tega hanya bisa mendongengkan anak-cucu kita dengan cerita orang utan, elang jawa, harimau jawa, badak sumatra, tanpa mengajaknya untuk melihat.
Ya… itu semua mungkin karena saat ini pun mereka hanya tinggal legenda saja dan sangat sulit ditemui.
Alam hanya menginginkan untuk dirawat, dihijaukan kembali, dikelola dengan benar setelah itu kita boleh mengambil secukupnya untuk kepentingan kita. Alam ini adalah supermarket kehidupan manusia yang didalamnya tak ada satu pun bandrol harganya. Hanya kita manusia harus mau merawat dan mengelolanya. Ingat alam dan seisinya ini bukan milik kita kita hanya dipinjami. Alam ini milik generasi penerus kita dan saat ini kita berhutang dan orang berhutang hukumnya wajib membayar.
S A V E O U R E A R T H


Cerita ini benar adanya bukan fiktif belaka. Hanya nama narasumbernya saja yang saya ganti demi privacy mereka.

By boim prasetyo