Minggu, Juni 28, 2009

KCB 1 di mata Boim


KCB 1 di mata Boim


Hari senin kemarin setelah saya menyelesaikan urusan di POLDA Metro Jaya, saya iseng-iseng ke Mall Kalibata. Tujuan saya ingin melihat film Ketika Cinta Bertasbih 1. Dala perjalanan dari Polda Metro ke Kalibata sempat terpikir oleh saya, “wah pasti sudah ga dapat ticket lagi nih, dan harus pesen hari ini untuk melihatnya besok.” Sesampai di Mall Kalibata langsung aja saya menuju bioskop twentyone-nya untuk beli ticket. Ternyata pemutaran film KCB jam pertama adalam pukul 11:45, sedangkan saya tiba jam 11:58. Dalam hati saya berkata pasti sudah penuh dan saya harus menunggu pemutaran KCB yang jam ke 2 pada pukul 14:10. Setelah sampai di depan loket lalu saya mencoba untuk bertanya kepada petugas yang melayani penjual ticket.
“Mbak, untuk ticket KCB-nya masih bisa?”
“Sudah di putar sepuluh menit yang lalu ga papa mas.” Jawabnya.
Aku pikir hanya ga lihat sepuluh menit pertama ga masalah sih.
“ga papa mbak, ok-lah.” Jawabku.
Setelah aku bayar 15 ribu, lalu aku menuju ke theater 1 dimana KCB sedang diputar. Di ticket itu terketik jelas bahwa aku duduk di barisan H dengan nomer kursi 10.
“Wah.. pasti susah ni nyariknya because aku datangnya udah terlambat dan di dalam lampu udah di matiin and kalau nyarinya nanti pasti ngalang-ngalangin orang yang lagi asyik nonton.” Dalam hati aku bergumam.
Ternyata setelah aku masuk tidak seperti yang aku bayangkan di luar tadi. Masih banyak sekali deretan kursi yang kosong padahal film sudah berjalan 10 menit. Itu tandanya bahwa tidak akan ada pengunjung yang masuk lagi, dan mungkin aku adalah penonton yang terakhir masuk.
“Langsung cari tempat duduk yang masih kosong aja mas, ga usah sesuai dengan nomer kursi yang ada di ticket.” Dari belakang aku mendengar sebuah perintah, ternyata mbak-nya yang ada di pintu masuk theater tadi. Benar juga katanya toh mungkin sudah tidak ada lagi yang akan masuk dan masih banyak deretan kursi yang kosong. Aku langsung saja duduk di deretan kursi ke empat dari bawah, dan dalam deretamn itu hanya ada 2 orang, aku dan satu orang wanita setengah baya.

Yang menjadi pertanyaan mengapa film KCB 1 ini tidak se-boming / seheboh film Ayat-Ayat cinta? Padahal film ini juga diambil dari novel dan penulisnya pun sama Habiburrahman El Shirazy atau yang lebih banyak disapa dengan panggilan Kang Abiek. Bahkan menurut saya yang telah melihat filmnya, film KCB ini lebih bagus dibandingkan film Ayat-Ayat Cinta. Baik dari segi ceritanya, setting (tempatnya), maupun orang –orang yang membuat film ini. Film KCB ini di sutradarai oleh seorang Director kawakan Chaerul Umam dan astrada dari Mesir serta Imam Tantowi sebagai scenario-nya. Sedangkan orang-orang yang bermain di film ini pun aktor dan aktris Indonesia yang sudah tak diragukan lagi dalam aktingnya, seperti Dedy mizwar, Didi petet, Rima melati dan beberapa pendatang baru antara lain Kholidi Asadil Alam, pemeran Khairul Azzam, Oki Setiana Dewi pemeran Anna Althafunisa, Meyda Sefira, pemeran Ayatul Husna, Andi Arsyil, pemeran Furqon, bahkan sang penulispun kang Abiek dilibatkan dalam film ini sebagai ust. Mujab paman Anna Althafunisa. Setting film KCB ini dilakukan di Negara Mesir bukan seperti pada pembuatan film Ayat-Ayat Cinta yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang menggunakan India sebagai pengganti Mesir dan Sungai Gangga sebagai pengganti Sungai Nil yang ada di Mesir serta tempat-tempat di Indonesia yang diubah menjadi apertement dan Wisma Nusantara. Itu semua terjadi karena kurang persiapan dan buget yang tak mencukupi dari produser pembuatan film AAC MD Entertaiment ( baca kisah dibalik pembuatan Ayat-Ayat Cinta / blogsnya Hanung B, www.dearestmask.blogs.friendster.com. )
Belajar dari pengalaman pembuatan film AAC, kang Abiek ga mau mengecewakan pecinta film tanah air. Beliau menyerahkan pembuatan film KCB yang diambil dari novelnya kepada PH Sinemart picures dan dengan sutradara yang sudah tak diragukan lagi Chaerul Umam.

Yang menjadi pertanyaan saya, kenapa film KCB 1 yang biaya pembuatanya melebihi film AAC justru animo untuk menonton tidak sehebat pendahulunya di film AAC? Ada berbagai alasan yang dapat saya jabarkan. Mungkin karena film yang bernafaskan islam yang diangkat dari sebuah novel sebelumnya telah banyak bermunculan. Dan saya rasa film AAC merupakan film pendobrak pertama yang ceritanya diambil dari novel yang telah best seller walaupun dalam pembuatanya sama sekali tidak di mesir bahkan hanya mengambil beberapa foto landscape saja. Lalu setelah itu muncul beberapa film yang sejenis pula yang diangkat dari sebuah novel seperti film Perempuan Berkalung Sorban yang di sutradarai oleh Hanung Bramantyo juga. Justru film Perempuan Berkalung Sorban ini menuai protes dari beberapa Ponpes, karena ceritanya yang sangat memojokkan kehidupan Pondok Pesantren. Padahal film KCB 1 ini rencananya akan di putar di 8 negara yaitu Indonesia, Brunei, Malaysia, Singapore, Hongkong, Taiwan, Mesir, dan Australia.

Sebenarnya ada yang menarik dalam cerita di Film KCB 1 ini. Secara garis besar cerita film ini adalah mengisahkan perjuangan seorang mahasiswa Universita Al Azhar Cairo Mesir bernama Khoirul Azzam. Dia berusaha untuk tetap kuliah sambil mencari uang dengan berjualan tempe dan bakso untuk mencukupi kebutuhan ibu dan adik-adiknya yang berada di Surakarta. Hal ini ia lakukan semenjak ayahnya meninggal dan ia merasa terpanggil untuk menjadi pengganti ayahnya untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Selama 9 tahun di Mesir Khoirul Azzam baru bisa menyelesaikan gelar strata 1 nya. Mungkin kalau kuliah sambil bekerja atau bahkan menjadi tulang punggung keluarga saya kira sudah banyak sosok bermunculan bahkan dalam kehidupan nyata. Yang menjadi perhatian saya, ketika Furqon hendak meminang Anna Althafunisa ada 2 syarat yang harus dipenuhi Furqon sebagai mahar atau mas kawinnya. Nah.., syarat yang no 2 ini lah yang membuat saya tertarik untuk diperbincangkan. Di dalam film KCB 1 diceritakan Anna Althafunisa meminta syarat yang ditujukan kepada Furqon yaitu, bahwa selama dia (Anna) hidup masih bisa melayani furqon sebagai istrinya maka Furqon tidak diperbolehkan untuk menikahi wanita manapun. Artinya Furqon tidak boleh berpoligami selama Anna masih hidup dan masih bisa melayani kewajiban istri baik lahir maupun batin. Hal ini bila dilihat dari kacamata kaum laki-laki mungkin merugikan dan menganggap mengharamkan poligami yang sebenarnya diperbolehkan dengan catatan bisa berbuat adil.
Tapi kalau saya lihat dari kacamata diri saya, kiranya ga mungkin dan bila ada sangat sulit ditemukan ada wanita sebijaksana Anna Althafunisa ini. Bagaimana tidak?
Dia cukup meminta mahar kepada pihak lelaki untuk komitmen tidak menikahi wanita selama dia masih bisa melaksanakan kewajiban sebagai istri baik lahir maupun batin.
Sedangkan hari gini…! Pastinya banyak kaum Hawa yang justru meminta mahar berupa harta-benda yang memberatkan pihak pria dalam memenuhinya yang finally-nya harus tawar-menawar kepada pihak perempuan. Walaupun dalam akad-nikah yang diikrarkan hanya Al-Quran dan seperangkat alat shollat, akan tetapi di belakangnya bisa saja rumah seisinya dengan perabotan selengkap-lengkapnya, garasi dan mobilnya, sawah dan kebonya.
Menarik benang merah dari cerita di film KCB alangkah baiknya bila saat ini para kaum Hawa mengambil contoh dari sikap Anna Althafunisa katika dilamar oleh Furqon. Sehingga sebuah pernikahan bukanlah sebuah beban berat yang selalu menghantui para kaum laki-laki. Sedangkan dalam kacamata agama Islam pernikahan adalah sebuah kewajiban yang harus segera dilkasanakan bila telah mampu sesuai dengan syariat. Di agama manapun tidak ada yang memberatkan dalam penyelenggaraan pernikahan. Dan menurut pengamatan saya selama ini sebuah budaya-lah yang justru sebagai factor pendukung pernikahan itu menjadi suatu hal yang sangat berat untuk dilkasanakan.

By boimprasetyo

Sabtu, Juni 20, 2009

Panggilan jiwa

Panggilan jiwa

Mungkin banyak diantara kita pada saat ini bukanlah menjadi apa yang diinginkan sesuai dengan panggilan jiwanya. Bila boleh jujur banyak sekali orang yang merasa telah terjebak oleh waktu, dimana ia pada saat ini dalam kondisi bukan yang ia inginkan. Sebuah profesi atau job yang melenceng jauh dari cita-cita yang di dambakan sebelumnya. Mungkin diantara kita ada yang dulu mencita-citakan sebagai pilot tapi malah jauh melenceng menjadi seorang peagawai rumah sakit. Ada yang ingin menjadi insinyur mesin justru terdampar di sebuah bank swasta dengan setumpuk kerjaan nyatetin hutang-hutang orang lain dengan gelar SE. Ada juga, yang digadang-gadang orang tuanya menjadi pegawai pemarintah, Eee… malahan jadi pegawainya koh Ahong di pecinan alias Harco Glodok.
Dan mungkin masih banyak lagi.
Yang cita-citanya melenceng tapi masih ada dalam koridor satu species juga ada. Yang dulu pengen jadi pilot malah jadi supir angkot ataupun supir taksi. Yang dulunya pengen jadi insinyur teknik mesin justru malah menjadi sales executive penjualan speare part mesin-mesin pabrik atau yang lebih kerennya dengan sebutan Marketing Communication Executive. Yang dulu ngotot ingin menjadi anggota militer justru terpuruk jadi security kampung alias HANSIP. Mungkin beberapa diantara kita semua merasa telah salah tempat dalam menempatkan profesi untuk berkraetifitas sehingga talenta yang sebenarnya kita miliki telah mati, dan sadar atau tidak kita lah yang membunuhnya sendiri dengan tunduk pada sebuah system yang dibuat orang lain dan parahnya kita mengadopsinya. Yang lebih parah lagi kita pura-pura bangga dan pura-pura senang sehingga kita hidup penuh dengan kepura-puraan.
Seperti halnya saya pada saat ini.
Kalau di tanya pun mungkin saya sudah ga ingat lagi dulu cita-citanya pengen jadi apa..!
yang ada sekarang saya kerja di sebuah perusahaan milik asing (PMA) punyanya Nipon Corporation.
Disatu sisi saya merasa terjebak dan terperangkap ke dalam dunia kerja saya yang sangat jauh dari apa yang saya cita-citakan sekaligus yang saya harapkan. Sampai detik ini saya merasa sangat sulit untuk melompat / melepaskan perangkap yang telah sekian lama mengurung saya semanjak saya lulus sekolah tingkat atas.
Jiwa saya memberontak..!
Ini sebuah pembunuhan karakter yang dilakukan secara perlahan-lahan dan sangat camuflase yang dilakukan oleh saya sendiri yang sangat didukung oleh pihak lain yang bersangkutan. Sangat saya rasakan sekali sebuah bentuk penjajahan, pembantaian, sekaligus pembungkaman kreatifitas dan pengembangan talenta dalam diri saya. Saya harus menurut pada sebuah system yang telah saya teken sewindu yang lalu. Bagaikan sebuah program pencucian otak yang saya terima secara perlahan-lahan yang mengubah sifat manusiawi menjadi sebuah mesin robot yang dapat diperintah seenaknya saja demi terkumpulnya sebuah pundi-pundi bernama kekayaan.
Akan tetapi apa yang saya dapatkan..?
kekayaankah?
Jabatankah?
Sama sekali tidak jawabannya.
Yang ada segala kreatifitas dan talenta yang saya miliki dibantai habis oleh sistim yang telah saya teken. Itulah bodohnya saya, yang saat ini saya sadari telah jauh saya jatuh dalam jurang yang bernama pembunuhan carakter. Perlahan pula jiwa saya telah terbius hingga akhir-akhir ini baru saya sadar bahwa saya telah masuk ke dalam institusi pembodohan intelektual. Dengan segenap sisa kesadaran yang ada saya berusaha untuk keluar dari sebuah jerat yang telah membuat mati suri kreatifitas saya yang sebenarnya disitu terdapat sebuah talenta yang besar. Disitulah panggilan jiwa diri saya yang selama sewindu lebih saya abaikan begitu saja. Dan disitu pula-lah ada sebuah kerinduan dan cinta yang memanggil jiwa saya untuk be your self.
Untuk memenuhi panggilan jiwa, saya berusaha untuk menulis segala apa yang terjadi dalam mozaik-mozaik kehidupan saya lalu merangkai dalam sebuah frame kehidupan yang kiranya nanti dapat saya pemerkan dalam lembar buku kehidupan pribadi saya. Pahit, manis, getir, asam, kecut akan terangkai dalam sebuah untaian huruf yang membentuk susunan kata-kata yang terwujud dalam kalimat yang dapat membuat orang senang, sedih, terenyuh, menangis, jengkel, marah,dongkol, gondok, dan masih banyak lainnya.
Yah… menulis jawabannya..!
Menulis adalah panggilan jiwa saya yang kini telah saya temukan kembali kehadirannya. Dengan menulis kini saya berusaha untuk lebih menikmati kehidupan saya yang sebenarnya. Dengan menulis pula saya berusaha untuk melepaskan belenggu yang telah menjerat kehidupan saya selama sewindu lebih. Berusaha untuk menceritakan mozaik-mozaik kehidupan dalam sebuah rangkaian kata dan kalimat merupakan sebuah kepuasan tersendiri yang tak tergantikan oleh apapun. Saya dapat terbang jauh dalam imajinasi yang saya kembangkan hingga mencapai negri diatas awan nan penuh kedamaian.

Bila teman saya pernah mengangkat artikelnya dengan judul MENULIS DENGAN SEGUDANG TEORI di facebook-nya, maka saya berusaha menulis tanpa dengan segudang teori yang ada. Saya mulai menggerakkan tuts-tuts di laptop saya dengan sebuah niat, tekad dan didasari cinta untuk menghadirkan sebuah cipta , rasa, dan karya yang layak untuk dikonsumsi public. Walaupun hasilnya cukup controversial ataupun dianggap keblinger dari tatanan EYD akan tetapi saya cukup puas dan senang, karena akan muncul komentar-komentar sumbang.
Dengan munculnya komentar-komentar itu maka niat saya menciptakan sebuah stimulus-respon kepada khalayak untuk memunculkan niat menulis kepada mereka berhasil. Apapun komentar mereka saya yakin bahwa itu muncul dari niat yang murni dalam mengekspresikan sebuah pendapat walaupun sifatnya merusak ataupun kritikan yang membangun.
Semenjak saya terjerumus dalam dunia penulisan saya merasa sensitive terhadap sagala gejolak social yang terjadi dalam lingkungan saya, yang berusaha untuk menampilkannya dalam sebuah bentuk tulisan yang enak dibaca oleh khalayak. Sering saya tak peduli karya saya dibaca orang tau tidak. Bahkan setiap bulan saya berusaha untuk mengisi bermacam keluh-kesah dan pengalaman di blogs pribadi saya. Saya tak pernah memikirkan apakan tulisan itu nantinya di respon oleh para blogger atau tidak. Akan tetapi saya yakin suatu saat apa yang saya tampilkan di blogs pribadi saya akan bermanfaat untuk public.

Learning by doing..!
ya, itu adalah yang kini saya lakukan. Belajar sambil melakukan. Jangan pernah anda bisa menjadi penulis hebat hanya dengan membaca setumpuk buku tentang teori penulisan walaupun buku yang anda baca karya sekaliber Stepen King. Bila kita tak mau mencobanya sedikitpun maka semua itu percuma. Beranilah untuk mencoba mengekspresikan emosi positip kita dalam sebuah rangkaian kalimat walaupun hanya dalam sebuah kanvas yang bernama buku diary. Sebuah karya best seller yang pernah mengguncang dunia di pertengahan tahun 1952 dari sang penulis Otto Heinrich Frank yang bertitle Diary Ane Frank itu pun bersumber dari sebuah cerita di buku diary seorang anak gadis keturunan yahudi Eropa yang pada pemerintahan Nazi pimpinan Hitler dikejar-kejar dalam misi genosida (pembantaian/penumpasan etnic yahudi). Dalam buku itu diceritakan bagaimana kehidupan seorang anak bernama Ane Frank keturunan yahudi eropa yang berusaha hidup dengan keluarganya dari kejaran tentara Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler. Ane Frank mencatat segala kejadian sehari-hari selama dalam persembunyian di Amsterdam Belanda selama 2 tahun diatas loteng sebuah gedung Annex. Pada usia 16 tahun Anne Frank meninggal karena menderita sakit tipus. Baru setelah tahun 1947 diary Anne ditulis kembali oleh ayahnya Otto Heinrich Frank untuk dibukukan.

Dan tak ada salahnya bila kita mencoba membuat sebuah cerita yang terinspirasi dari pecahan-pecahan mozaik kehidupan kita. Dan juga merasa terpanggil untuk menampilkan sebuah gejolak social yang baru menjadi issue hangat, yang dapat kita kemas dalam sebuah artikel maupun tulisan yang bersifat satire. Saya pribadi cukup mengacungkan jempol kepada teman-teman yang selama ini berusaha mengungkapkan ekspresinya melalui sebuah tulisan, walaupun tulisan sampah seperti yang sering dibuat Mr. Del Paijo senior saya di sebuah milis. Walaupun saat ini terdapat sebuah issue yang menjerat Prita Mulyasari karena emailnya di sebuah milis yang mengangkat ketidak beresan pelayanan medis di sebuah rumah sakit di Tangerang, menurut saya ini merupakan sebuah gebrakan betapa hebatnya sebuah tulisan untuk mengangkat fakta sebuah pelayanan public yang sangat tak menguntungkan masyarakat. Bagi para penulis kejadian yang menimpa ibu Prita bukan merupakan sebuah portal yang akan menghalangi-halangi untuk membuat karya selanjutnya. Akan tetapi justru sebagai sumber kekuatan untuk mendobrak sebuah benteng pembungkaman pers (pemberitaan). Yang kelak di kemudian hari akan muncul prita-prita lainnya yang lebih berani untuk mengungkapkan gejolak social yang selama ini tertutup rapat.

Kadang saya merasa imajinasi yang saya miliki terlalu jauh terbang tinggi untuk menciptakan sebuah cerita fiksi, akan tetapi keterbataan waktu yang saya miliki merupakan sebuah kendala yang menghambat. Sering saya bela-bela’in bila pulang kerja, walaupun badan sudah capek, fikiran sudah tak consent lagi saya berusaha untuk melampiasakan imajinasi yang sudah ada di ubun-ubun kepala yang harus diimplementasikan melalui tulisan. Mungkin hanya segelas the hangat, secangkir kopi atau sebatang rokok sudah cukup untuk menemani membuat sebuah tulisan yang dapat membuat orang naik pitam dan mencapnya dengan stempel bertuliskan “KONTROVERSIAL”.
Jujur saya akui bahwa di tempat kerja saya saat ini saya tidak ikhlas untuk memberikan loyalitas skill maupun talent yang saya miliki. Mungkin karena pekerjaan yang saya geluti saat ini jauh dari panggilan jiwa saya sehingga yang ada hanya sekear bekerja untuk mendapatkan kepingan rupiah tanpa didasari rasa cinta pada pekerjaan sebagai nafasnya. Akan tetapi untuk pekerjaan menulis ini saya dapat allout mencurahkan segenap fikiran, fisik, skill dan talent yang saya miliki serta rasa cinta dan bangga terhadap karya yang telah saya hasilkan walaupun wujudnya tulisan sampah sekalipun. Why…?
Karena saya menganggap bahwa karya yang saya tulis adalah bersumber dari hati nurani yang tak bisa dibohongi, dengan mengangkat sebuah fakta yang ada, diulas secara singkat, lugas dan tajam.

Ketika saya melihat sebuah video clip dari penyanyi solo Nugie, saya merasa tersindir dan tertawa dalam hati. Ternyata dalam video clip yang berjudul Lentera Jiwa itu menceritakan bagaimana keadaan profesi seseorang yang sangat melenceng jauh dari apa yang ia cita-citakan dan apa yang ia pelajari selama di academy.
Senangkah mereka..?
Jawabanya adalah tanyakan pada hati nurani kita masing-masing..!
Dan parahnya saya pun masuk dalam kategori apa yang ada dalam video clip nugie tersebut, yang tentunya yang tidak bahagia dengan jobsnya yang sekarang.

Lentera Jiwa
By. Nugie

Lama sudah ku mencari.
Apa yang hendak ku lakukan.
Segala titik ku jelajahi.
Tiada satu pun ku mengerti
Tersesat aku,
Disamudra hidupku.

Ketegaran yang ku baca.
Terkadang tak mudah ku cerna.
Bunga-bunga dan rerumputan.
Bilakah kau tau jawabnya.
Inikah jalanku,
Inikah takdirku.

Biarkan ku mengikuti suara dalam hati,
Yang selalu membunyikan cinta.
Ku percaya dan ku yakini.
Murninya nurani.
Menjadi penunjuk jalanku,
Lentera jiwaku.

“Berusahalah menghidupkan kembali lentera jiwa kita yang telah redup, agar terang kembali untuk menerangi kehidupan dikemudian hari”

Cawang, 20 June 2009
By. boimprasetyo



Kunjungi juga
www.boim-prass.blogspot.com